Esai-esai Nano

Februari 11, 2013

Saatnya Reformasi Angkutan Umum

Membaca insiden-insiden Angkutan Umum, jadi membuka arsip lama. Ini salah satu artikel saya yang dimuat 15 Maret 2011 oleh Harian Bisnis Indonesia dan kemudian oleh Salman ITB Online.

Foto: thejakartapost.com

Foto: thejakartapost.com

Alasan utama wacana pengendalian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah agar subsidi tepat sasaran. Pengendalian subsidi BBM perlu disertai penataan angkutan umum. Menurut Menko Ekuin Hatta Radjasa, pengurangan konsumsi premium bersubsidi sebesar 14 juta kiloliter akan menghasilkan pengurangan subsidi sebesar Rp 28 triliun jika beda harga premium subsidi dan pertamax Rp 2.000.

Namun, upaya pengendalian subsidi BBM tanpa memperhitungkan alternatif kendaraan pribadi akan sangat riskan. Di negara-negara maju, angkutan
umum sangat diperhatikan dan terjadwal dengan baik. Kita pun dapat memilikinya dengan beberapa catatan.

Pertama, reformasi sistem setoran menjadi sistem penggajian. Pengemudi angkutan umum saat ini diharuskan memberikan setoran kepada pemilik kendaraan. Untuk sebuah trayek angkutan umum di Bandung, misalnya, pengemudi harus memberikan setoran sebesar Rp 100.000 – Rp 150.000. Ini berarti pengemudi harus mendapatkan rata-rata 200 penumpang per hari agar mampu menyisihkan uang untuk dibawa pulang.

Ini menjadikan di benak pengemudi hanya bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak-banyaknya agar dia masih dapat memperoleh sisa yang cukup setelah dipotong setoran. Dengan sistem penggajian, pengemudi akan digaji dengan jumlah tertentu.

Bagaimana jika pengemudi kemudian malah menjadi pasif karena tahu bahwa dia akan selalu mendapat gaji walaupun tidak menarik penumpang? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan sosialisasi dan penegakan hukum.

Namun, dengan sistem yang baru seharusnya pengemudi sadar bahwa pendapatan perusahaan pengangkutan pun sangat bergantung pada prestasi kerjanya mendapatkan penumpang. Jika penumpang tidak mau beralih dari sepeda motor ke angkutan umum, perusahaan pengangkutan tidak mendapatkan uang yang cukup untuk menggaji pengemudi. Dengan model pembinaan SDM sederhana, motivasi pengemudi dapat dibangun.

Kedua, penataan kembali trayek-trayek angkutan umum dan membaginya berdasarkan jarak. Untuk saat ini penetapan tarif hanya berdasarkan dua model. Model pertama adalah tarif umum yang berlaku jauh-dekat, umumnya berlaku pada bus kota. Model kedua adalah perkiraan jarak sendiri yang disepakati secara informal oleh pengemudi dan penumpang, dan dibayar tunai pada saat penumpang turun. Model ini biasanya digunakan oleh angkot atau mikrolet.

Kelemahan kedua model ini adalah kerancuan tidak adanya standar baku dalam penentuan harga. Sebagai contoh kecil: anak-anak sekolah biasanya membayar separuh harga. Adalah suatu keanehan kalau yang membayar “subsidi” anak sekolah ini adalah pengemudi atau perusahaan pengangkutan, karena pada dasarnya “subsidi” ini adalah kewajiban pemerintah daerah atau pusat.

Kedua model ini dapat diperbaiki yaitu pembayaran berdasarkan jarak dengan tarif resmi dan dipantau oleh sistem sebagaimana di Singapura. Dalam hal ini, RFID dapat digunakan untuk memantau pergerakan kendaraan umum di trayeknya.

Ubah Model Bisnis
Ketiga, reformasi model bisnis angkutan umum, agar banyak pengusaha tertarik bergerak di bidang angkutan umum. Dalam hal industri angkutan umum, hal itu dapat dijabarkan sebagai berikut: kredit ringan peremajaan dan perawatan kendaraan, kontrol kualitas pelayanan pelanggan yang lebih baik, pembagian sektor dan mode transportasi yang jelas sehingga persaingan antarmode angkutan umum dibuat seminimal mungkin, pembatasan minimal armada, dan konversi ke bahan bakar gas (BBG) yang harga jualnya jauh lebih murah.

Untuk mewujudkan semua itu dapat diberikan subsidi terbatas yang jumlahnya sangat jauh di bawah potensi penghematan subsidi BBM yang menurut perhitungan di awal artikel ini dapat mencapai Rp 28 triliun setahun.

Keempat, membangun infrastruktur angkutan massal (mass rapid transportation – MRT). Ini dapat berupa kereta listrik (KRL), tram, kereta bawah tanah (subway), monorail, dan lain-lain. KRL sebenarnya dapat ditambah frekuensinya, akan tetapi hambatan utamanya adalah banyaknya persimpangan antara rel kereta api dan jalan raya. Mungkin perlu direncanakan pembangunan jembatan atau bahkan terowongan yang mengurangi persimpangan tadi.

Contoh lain adalah revitalisasi jaringan kereta api. Untuk Jabodetabek saja diperlukan biaya untuk itu sekitar Rp 27,5 triliun selama 5 tahun. Dirjen Perkeretaapian Tundjung Inderawan bahkan menyebut angka Rp 82 triliun yang diperlukan untuk revitalisasi perkeretaapian nasional.

Namun, dibandingkan dengan potensi penghematan baik dari pengurangan subsidi BBM maupun potensi kehilangan waktu akibat kemacetan dan gangguan kesehatan, jumlah ini sebenarnya masih relatif layak. Dari semua poin reformasi angkutan umum itu, diharapkan pengendara kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat dapat beralih dalam jumlah yang signifikan. Dari peralihan itu jumlah konsumsi BBM juga dapat dihemat secara signifikan.

Ini perlu kerja sama dan dukungan dari instansi-instansi terkait secara terarah dan berkesinambungan. Dengan demikian, selain potensial mengalihkan pengeluaran negara sebesar Rp 28 triliun untuk subsidi bagi sektor yang benar-benar memerlukan (pendidikan, kesehatan, reformasi birokrasi) juga membantu mengurangi polusi secara jangka panjang.

* Tulisan ini pernah dimuat di koran Bisnis Indonesia pada Selasa, 15 Maret 2011
** Penulis adalah alumni Salman ITB, pernah menjadi dosen di Universitas Al-Azhar Indonesia.

dimuat di http://salmanitb.com/2012/03/saatnya-reformasi-angkutan-umum/

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.