Esai-esai Nano

Desember 7, 2014

Tugce Albayrak dan Runtuhnya Mitos

Filed under: Eropa — estananto @ 10:10 am
Tags: , , ,

Tugce Albayrak bukan selebriti atau artis, apalagi pemain bola. Dia hanya mahasiswi di Jerman. Apakah dia orang Jerman? Secara kewarganegaraan, barangkali iya. Secara genetik, bapak dan ibunya orang Turki walaupun mungkin juga sudah memegang kewarganegaraan Jerman.

Akan tetapi seperti yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia,  mereka secara kultural kadang dianggap seperti orang lain. Di Indonesia bahkan Rudi Hartono, Liem Swie King, Verawati Fajrin, Susi Susanti, Alan Budikusuma dipuja-puja karena membawa nama Indonesia di puncak dunia. Di tanah air, mereka tetaplah dipandang lain. Sebutan WNI Keturunan kedengaran sangat aneh untuk mereka yang membawa merah putih ketika berlaga.

Di Jerman memang generasi imigran Turki yang datang tahun 1960-an dipandang secara ambivalen, Di satu sisi mereka – bersama imigran lain dari Italia, Yunani, dan negara-negara Eropa Selatan lain – memang membantu membangun kembali Jerman setelah Wirtschaftwunder – kebangkitan ekonomi Jerman setelah Perang Dunia II yang memalukan itu. Namun mereka tetap dianggap orang lain. Atau mungkin hanya setengah Jerman.

Tugce Albayrak lahir di Jerman dari orang tua imigran Turki. Dia melambangkan generasi baru yang menggantikan generasi perintis tadi. Nilai-nilai yang dibawa dari Turki telah bercampur dengan nilai-nilai baru di tanah Jerman. Turki – harus diakui – bagi sebagian orang Eropa (Barat) adalah momok secara historis. Tak kurang dari Paus Benediktus XVI (yang sekarang sudah turun tahta) juga mengakui trauma itu manakala kekuatan Utsmaniyah (Ottoman Empire) menggedor jantung Eropa, merebut Konstantinopel yang merupakan jantung peradaban Eropa Timur. Bahkan Utsmaniyah ini pernah mengancam kota Wina di Austria, kalau saja raja-raja Eropa tidak turun tangan mengirimkan pasukan gabungan.

Pemakaman Tugce Albayrak (Sumber: The Guardian)

 

Tetapi Tugce adalah orang Jerman dengan latar belakang Turki. Turki masih identik dengan Muslim. Sesekuler-sekulernya Republik Turki, sejak tahun 1960-an Kementerian Agama Turki rajin mengirim Hoja untuk membina mental spiritual para imigran Turki di Jerman. Masjid-masjid pun didirikan di Jerman dengan bantuan pemerintah Turki. Kalau anda sempat sembahyang di masjid Turki yang punya nama DITIB, nah itulah masjid yang mendapat bantuan pemerintah Turki itu.

Tugce menunjukkan bahwa dia membela nilai-nilai kemanusiaan yang juga bersumber dari nilai-nilai Islam. Islam mengajarkan bahwa kehormatan perempuan wajib dijaga. Waktu itu ada dua perempuan muda diganggu gerombolan preman dan Tugce datang melawan. Naas baginya preman itu membalas hingga Tugce koma. dan wafat dua minggu kemudian.

Inilah pertama kalinya proses menyolatkan jenazah hingga pemakaman seorang Muslim di Jerman mengundang ribuan orang Jerman datang memberikan penghormatan terakhir. Bahkan Presiden Republik Federal Jerman juga memberikan belasungkawanya. Barangkali, setidaknya di tanah tempat dia hidup, Tugce memberikan satu hal: menghapus stereotype yang bertahun-tahun menghinggapi kaumnya. Selamat jalan, Tugce.

2 Komentar »

  1. tulisan yang menyentuh mengenai yang terpinggirkan… Tulisan ini kena banget krn diawali dg situasi di Indonesia yang berbeda-beda namun dianggap berbeda jua…

    Komentar oleh siennysentosa — Desember 7, 2014 @ 9:13 pm | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.