Esai-esai Nano

November 20, 2006

Asrama dan Pembiayaan Mahasiswa

Filed under: Indonesia — estananto @ 8:00 pm

Artikel di Harian Pikiran Rakyat, 4 November 2006

Asrama dan Pembiayaan Mahasiswa
Oleh ESTANANTO

BIAYA pendidikan makin mahal. Bahkan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sekalipun, yang dulu menjadi andalan pendidikan yang murah dan bermutu. Lebih-lebih lagi di beberapa PTN yang diubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), mereka harus mencari sumber pembiayaan alternatif. Selain hasil kerja sama dengan industri, tentu saja biaya pendidikan dari mahasiswa akan dinaikkan seiring dengan berkurangnya subsidi dari pemerintah.

Ada empat PTN yang berstatus BHMN, tiga di antaranya berlokasi di Jawa Barat: UI, ITB, IPB, dan UGM di Yogyakarta. Salah satu PTN yang berstatus BHMN di Kota Bandung adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada tahun anggaran 2001/2002 ITB membutuhkan dana 260 miliar rupiah. Dari jumlah tersebut hanya 70 milyar dibiayai subsidi pemerintah, sedangkan 30 miliar (12%) dari SPP mahasiswa. Sisanya, yaitu 160 milyar rupiah, harus dicari sendiri oleh ITB.

Pemasukan dari kerja sama dengan swasta untuk tahun anggaran itu hanya 140 miliar rupiah, sehingga ITB defisit 20 miliar rupiah pada tahun anggaran tersebut. Karena itu, menurut Dr. Adang Surahman, Pembantu Rektor Bidang Akademik ITB, di tahun 2005 pada waktu itu direncanakan kontribusi SPP akan dinaikkan dari 12% menjadi 25%, yang berarti SPP sebesar 4 juta rupiah per mahasiswa per tahun (Tempo News Room, 19 September 2003).

Itu berarti SPP per semester yang harus dibayar mahasiswa ITB pada tahun 2005 adalah 2 juta rupiah, atau rata-rata Rp 333.333,00 per bulan. Jumlah defisit di satu sisi dan besar SPP di sisi lain tentu saja bukan jumlah yang sedikit. Namun ini adalah masalah pelik yang nyata yang dialami pengelola ITB – dan tentu perguruan tinggi lain, negeri atau swasta – yang harus dipecahkan bersama.

Pendidikan adalah investasi terbesar dari suatu bangsa, bangsa mana yang mengabaikannya akan menuai bencana di masa datang, apalagi di era persaingan bebas seperti sekarang ini. Fasilitas hidup mahasiswa sebenarnya secara teoretis ada beberapa cara untuk meringankan beban perguruan tinggi dan mahasiswa. Misalnya: pemerintah membuat rencana jangka panjang untuk meningkatkan subsidi ke perguruan tinggi. Tentunya tidak realistis secara drastis meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN dan APBD sebagaimana yang tercantum dalam amandemen UUD 1945, namun sangat mungkin untuk secara bertahap mengucurkan dana lebih banyak ke sektor ini seiring dengan pemberantasan korupsi di birokrasi pemerintahan.

Atau barangkali, bisa juga dengan memberikan kredit murah bagi mahasiswa kurang mampu. Pada tahun 1980-an pernah dilancarkan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Besarnya Rp 650.000,00 untuk setiap mahasiswa, yang tentunya merupakan jumlah yang sangat berarti 20 tahun yang lalu. Sayang, program ini menjadi tersendat karena banyak penerima KMI yang hingga hari ini belum membayar kembali hutangnya. Barangkali program ini bisa diluncurkan kembali setelah sistem hukum kita sudah lebih baik. Alternatif pembiayaan seperti asuransi pendidikan mungkin layak untuk dipertimbangkan. Namun barangkali dengan distribusi penghasilan yang timpang di Indonesia, kita membutuhkan semacam wajib asuransi pendidikan terlebih dahulu agar memungkinkan terjadinya subsidi silang.

Kemungkinan lain adalah, pemerintah pusat maupun daerah dapat meringankan beban mahasiswa dengan mengupayakan fasilitas hidup mahasiswa seperti makan, komputer, buku, dan tempat tinggal dengan biaya hidup terjangkau. Tempat tinggal bisa jadi merupakan salah satu komponen terbesar pengeluaran mahasiswa setelah makan. Di daerah Cisitu Bandung, salah satu daerah kost terdekat dengan kampus ITB, biaya kost berkisar antara 200 dan 300 ribu rupiah per kamar. Itu berarti rata-rata pengeluaran per bulan termasuk dengan SPP berkisar antara 533.333 dan 633.333 rupiah, belum termasuk makan. Jika makan menghabiskan biaya 10.000 rupiah per hari tentunya per bulan dibutuhkan biaya 300.000 rupiah, sehingga total biaya hidup dapat mendekati 1 juta rupiah per bulan.

Untuk orang tua berpenghasilan lebih dari 3 juta rupiah per bulan barangkali masalah ini dapat dipecahkan, namun untuk orang tua yang penghasilannya jauh lebih rendah tentunya ini akan menjadi masalah besar. Belum lagi pada umumnya kost harus dibayar di muka untuk satu tahun. Sang mahasiswa barangkali harus bekerja sampingan seperti memberi les tambahan bagi siswa/siswi SMU untuk dapat menutupi biaya hidup tersebut. Namun harus diakui bahwa tidak semua mahasiswa mampu membagi waktu dengan baik di tengah tingginya tuntutan selesai kuliah tepat waktu.

Padahal, masa-masa kuliah adalah juga masa paling baik bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan lingkungan seperti aktivitas kampus atau kemasyarakatan. Seorang sarjana tidak hanya membutuhkan Indeks Prestasi (IP) yang tinggi namun juga kecakapan berkomunikasi di dunia kerja kelak. Asrama mahasiswa untuk mengatasi tingginya biaya kost, sejak lama didirikan asrama-asrama mahasiswa. Di Kota Bandung, hampir setiap PTN memiliki asrama mahasiswa: ITB, Unpad, dan IKIP (kini UPI). Ada beberapa instansi tertentu yang juga memiliki asrama untuk mahasiswa/mahasiswinya seperti Akademi Keperawatan (Akper).

Terdapat juga asrama-asrama mahasiswa yang dibiayai oleh pemda-pemda dari provinsi lain yang putra-putrinya banyak menuntut ilmu di Bandung, misalnya Asrama Aceh, Asrama Papua, dan lain sebagainya. Namun seiring dengan makin beratnya biaya operasional yang harus ditanggung oleh perguruan tinggi, subsidi ke asrama juga makin berkurang. Sebagai akibatnya ada dua kemungkinan: jumlah asrama dikurangi atau uang sewa dinaikkan.

Jalan keluarnya, asrama mahasiswa harus bisa dikelola secara swadaya. Artinya, tidak menggantungkan diri kepada subsidi namun juga tidak berorientasi keuntungan (profit oriented) belaka. Salah satu contoh asrama yang berhasil mengembangkan pola pengelolaan secara swadaya adalah Asrama Mahasiswa Bumi Ganesha di Cisitu Lama, Bandung. Didirikan pada tahun 1981 dan dikelola sendiri sejak 1987 oleh mahasiswa ITB yang menjadi penghuni di sana, asrama ini pernah memiliki unit-unit usaha sendiri seperti toko, kios telekomunikasi, dan biro privat les sehingga mampu menggaji 9 karyawan tetap, 5 honorer, dan 2 karyawan kontrak dan di saat yang sama menekan biaya sewa kamar hingga 80% dibanding sewa kamar kost.

Biaya sewa kamar termasuk listrik hanya 62.500 rupiah (2003). Selain murah, sistem asrama swakelola dan swadaya seperti ini juga dapat melatih mahasiswa berorganisasi langsung dalam kehidupan nyata. Mereka harus memikirkan gaji bapak-bapak karyawan lengkap dengan kondisi keluarga mereka masing-masing (dan para karyawan pun tidak sedikit berkontribusi bagi kelangsungan hidup asrama), menjaga agar toko dan kiostel berjalan lancar, bagaimana menyisihkan anggaran untuk perawatan asrama, menjaga hubungan baik dengan lingkungan masyarakat sekitar (ada beberapa penghuni yang menjadi aktivis masjid terdekat), dan yang terpenting juga bagaimana menjalankan roda kehidupan asrama berpenghuni paling banyak 120 mahasiswa ini.

120 orang mahasiswa yang datang hampir dari seluruh pelosok Indonesia dengan membawa karakteristiknya (suku, budaya, bahasa, agama) masing-masing, tentu harus mampu saling mengenal dan beradaptasi. Para mahasiswa di sini membangun “sistem pemerintahan” sendiri lengkap dengan “Presiden”, “MPR”, dan “Kabinet”, bahkan kalau perlu diadakan juga proses “Impeachment” terhadap “Presiden”. Sistem ini telah teruji coba selama 15 tahun. Idealnya, untuk setiap perguruan tinggi besar yang memiliki lebih dari 1.000 mahasiswa, tersedia 2 unit asrama swadaya.

Kampus atau pemerintah daerah hanya perlu berinvestasi bangunan dan tanah, selanjutnya pengelolaan diserahkan kepada mahasiswa penghuninya. Jika dirasakan perlu memberikan subsidi, dapat dialokasikan subsidi yang tidak terlalu besar karena diharapkan biaya sewa akan dikompensasi oleh keuntungan usaha. Asrama Bumi Ganesha sendiri sedang menghadapi masalah serius, yaitu secara teknis bangunannya masih laik huni hanya dalam hitungan beberapa tahun ke depan. Mereka membutuhkan gedung baru, namun hingga kini belum ada kepastian tentang hal itu. Mudah-mudahan asrama mahasiswa swadaya dan swakelola dapat menjadi alternatif peringanan pembiayaan hidup mahasiswa di tengah dilema yang melanda pendidikan Indonesia.***

Penulis, mantan penghuni Asrama Bumi Ganesha, kini bekerja di bagian Desain Semikonduktor di Jerman.

7 Komentar »

  1. ” Bantu kami dong tuk cari funding guna pembangunan asrama mahasiswa Kota Langsa di banda Aceh”

    Thank’s

    Komentar oleh Khairul Anwar — Maret 27, 2007 @ 6:37 am | Balas

  2. minta informasi spp ITB/ biaya persemester arsitektur ITB untuk mahasiswa baru yang akan masuk agustus 2007 mendatang. terima kasih.

    Komentar oleh ikhwan — April 10, 2007 @ 9:05 am | Balas

  3. “Pendidikan Hanya Untuk Orang Kaya”
    “Orang Miskin Dilarang Sekolah”

    Itulah gambaran saya tentang dunia pendidikan di Indonesia.

    Komentar oleh afandi — Agustus 15, 2007 @ 8:56 am | Balas

  4. Wah, kami perlu belajar nih tentang pengelolaan kewirausahaannya. Terutama pada saat set up program, karena mahasiswa kan susah dipegang “buntutnya”. Apalagi kalo sudah sibuk dengan kuliah dan organisasi.
    Sebagai informasi tambahan, kami, beastudi etos mengelola 27 asrama mahasiswa dhuafa di 11 PTN. Salah satunya di ITB.
    Ada info yang bisa di-share dengan kami, karena kami sedang menggagas program2 kemandirian yang bisa dilakukan di asrama. Terima kasih

    Komentar oleh Yanti (beastudi etos Dompet Dhuafa Republika) — Oktober 25, 2007 @ 4:19 am | Balas

  5. ngomong2 asrama mahasiswa itu apa??q lagi butuh pengertian yang sebanyak2nya..bisa bantu ga??

    Komentar oleh bgz — Februari 20, 2008 @ 10:24 am | Balas

  6. Saya sebagai alumni Asrama Bumi Ganesha menyetujui usul ini, dan bahkan model asrama swakelola ini sangat efektif untuk membangun kepribadian dan kemampuan organisasi serta bermasyarakat bagi mahasiswa.
    Yang junior belajar untuk disiplin, sementara yang senior belajar menjadi teladan yang baik bagi juniornya.

    Komentar oleh Christian Siahaan — Oktober 9, 2008 @ 6:53 am | Balas

  7. saya mahasiswa UNS, solo. Kebetulan saya pernah menginap di asrama tersebut. Walaupun bangunannya sangat sederhana, namun sangat nyaman utk ditempati. Ternyata swakelola ya? Hebat! Sangat rapi dan terawat.
    Bisa juga nih, diterapkan di kampus-kampus lain. Namun yang perlu diperhatikan apabila sistem tersebut diterapkan, pengawasan dan sistem keamanan harus benar-benar terjaga. Tidak sedikit juga mahasiswa yang melakukan tindak krimainal maupun asusila.

    wasalam.

    Komentar oleh qq — Agustus 20, 2010 @ 11:32 am | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.